"Ssttt....20...?"
"C!"
"21..?"
"A!"
Sayup-sayup suara berbisik bersautan di depan ku.
"Ah...pura-pura tidak dengar saja!" gumam dalam hati.
Mencoba melihat sekeliling dengan pandangan kosong sekilas.
"Hemm..." mungkin pandangan seperti ini dulu juga yang dilihat oleh bapak ibu guruku waktu dulu.
Kupikir, dulu ketika duduk di bangku ini semuanya tidak begitu nampak.
Karena ada punggung teman.
Karena bapak ibu guru yang menunduk
Karena bapak ibu guru yang sibuk dengan aktivitasnya.
Sempat kesal waktu seorang teman beberapa kali mengambil jawaban dariku tanpa sepengatahuan guru.
"Enak saja, aku yang semalam belajar mati-matian, kamu yang ambil.. maksa lagi.. kalau memberi dan menerima okelah.. ini mah kamu yang untung", gerutuku dalam hati.
Maklumlah saya bukan tipe frontal yang bisa dengan lantang bilang tidak, tapi lingkunganlah yang harus berperan besar. Tau sendiri asas gotong royong masih sangat kuat dikalangan remaja, sekalipun konteksnya salah, lebih-lebih jika itu teman dekat sendiri.
Kamu pelit kamu minggir! Daripada mengganggu pergaulan karena 'tidak enak hati' jadinya pasrah. Begitulah yang saya alami waktu itu.
Dan pasti akan lain ceritanya jika guru yang menegur.
Tapi ternyata selama ini itu cuma pura-pura.
Pura-pura tidak tahu.
Pura-pura tidak lihat.
Pura-pura sibuk, mungkin.
Seperti yang kulakukan saat ini, sibuk harus melemparkan pandanganku kemana.
Karena ternyata, semuanya terpampang jelas dari sudut ini.
Ada banyak pertanyaan dikepalaku.
Bagaimana aku harus bersikap?
Untuk apa aku harus bersikap?
Apa dampaknya jika aku mengambil sikap atau tidak?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus berkecamuk di benak tiap kali harus jaga ulangan.
Saya bisa saja pura-pura tapi hati kecil ini tidak terima.
Namun rasanya, lambat laun jiwa idealis ini mulai mati karena sering disodori fakta yang ujung-ujungnya semua bisa diatur, fakta dimana batas antara benar dan salah menjadi buram, hingga melahirkan persepsi harap dimaklumi.
Sampai pada suatu waktu satu persatu pertanyaan itu dijawab oleh pesan singkat yang dikutip dari sebuah situs dan dibagikan salah seorang teman di grup whatsapp. Yang isinya:
Untuk menghancurkan sebuah bangsa tidak perlu dengan bom atom atau dengan roket jarak jauh.
Tetapi dengan merendahkan kualitas pendidikan dan membiarkan pelajar berbuat curang.
Sehingga pasien meninggal di tangan dokter yang lulus dengan curang.
Rumah-rumah roboh di tangan insinyur yang lulus dengan curang.
Kerugian harta yang banyak di tangan akuntan yang lulus dengan curang.
Agama mati di tangan tokoh agama yang lulus dengan curang.
Keadilan hilang di tangan hakim yang lulus dengan curang.
Dan menyebarnya kebodohan diantara pelajar di tangan guru yang lulus dengan curang.
I'ts so deep!
#100harimenulisguru2022
#akumenulisuntukdiridannegeri