Monday, January 31, 2022

Jaga Ulangan




"Ssttt....20...?"
"C!"
"21..?"
"A!"
Sayup-sayup suara berbisik bersautan di depan ku.
"Ah...pura-pura tidak dengar saja!" gumam dalam hati.
Mencoba melihat sekeliling dengan pandangan kosong sekilas.
"Hemm..." mungkin pandangan seperti ini dulu juga yang dilihat oleh bapak ibu guruku waktu dulu.
Kupikir, dulu ketika duduk di bangku ini semuanya tidak begitu nampak.
Karena ada punggung teman.
Karena bapak ibu guru yang menunduk
Karena bapak ibu guru yang sibuk dengan aktivitasnya.
Sempat kesal waktu seorang teman beberapa kali mengambil jawaban dariku tanpa sepengatahuan guru.
"Enak saja, aku yang semalam belajar mati-matian, kamu yang ambil.. maksa lagi.. kalau memberi dan menerima okelah.. ini mah kamu yang untung", gerutuku dalam hati.
Maklumlah saya bukan tipe frontal yang bisa dengan lantang bilang tidak, tapi lingkunganlah yang harus berperan besar. Tau sendiri asas gotong royong masih sangat kuat dikalangan remaja, sekalipun konteksnya salah, lebih-lebih jika itu teman dekat sendiri. 
Kamu pelit kamu minggir! Daripada mengganggu pergaulan karena 'tidak enak hati' jadinya pasrah. Begitulah yang saya alami waktu itu.
Dan pasti akan lain ceritanya jika guru yang menegur.

Tapi ternyata selama ini itu cuma pura-pura.
Pura-pura tidak tahu.
Pura-pura tidak lihat.
Pura-pura sibuk, mungkin.
Seperti yang kulakukan saat ini, sibuk harus melemparkan pandanganku kemana.
Karena ternyata, semuanya terpampang jelas dari sudut ini.
Ada banyak pertanyaan dikepalaku.
Bagaimana aku harus bersikap?
Untuk apa aku harus bersikap?
Apa dampaknya jika aku mengambil sikap atau tidak?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus berkecamuk di benak tiap kali harus jaga ulangan.
Saya bisa saja pura-pura tapi hati kecil ini tidak terima.

Namun rasanya, lambat laun jiwa idealis ini  mulai mati karena sering disodori fakta yang ujung-ujungnya semua bisa diatur, fakta dimana batas antara benar dan salah menjadi buram, hingga melahirkan persepsi harap dimaklumi.

Sampai pada suatu waktu satu persatu pertanyaan itu dijawab oleh pesan singkat yang dikutip dari sebuah situs dan dibagikan salah seorang teman di grup whatsapp. Yang isinya:

Untuk menghancurkan sebuah bangsa tidak perlu dengan bom atom atau dengan roket jarak jauh.

Tetapi dengan merendahkan kualitas pendidikan dan membiarkan pelajar berbuat curang.

Sehingga pasien meninggal di tangan dokter yang lulus dengan curang.

Rumah-rumah roboh di tangan insinyur yang lulus dengan curang.

Kerugian harta yang banyak di tangan akuntan yang lulus dengan curang.

Agama mati di tangan tokoh agama yang lulus dengan curang.

Keadilan hilang di tangan hakim yang lulus dengan curang.

Dan menyebarnya  kebodohan diantara pelajar di tangan guru yang lulus dengan curang.

I'ts so deep!


#100harimenulisguru2022
#akumenulisuntukdiridannegeri
Share:

Tuesday, January 25, 2022

Meja Kerjaku yang Baru




Bukan mejanya yang baru, tapi isinya!
Ya semenjak kehadiran guru mutasi di ruangan saya ada yang berubah pada diri saya. Bersyukurnya perubahan itu ke arah yang positif.

Beliau duduk di sebelah saya, sehingga ada banyak hal yang saya pelajari darinya, terutama dalam hal organizing.

Sebelumnya memang saya sudah pernah mendengar metode beberes KonMari ala Marie Kondo. Hanya saja metode ini baru diterapkan pada lemari pakaian. 

Sedangkan untuk organizing meja kerja dengan seabrek printilannya saya baru menyaksikannya sendiri dari beliau ini. Ternyata dengan mengatur meja kerja bisa meningkatkan fokus pada kerjaan utama. Dan hal ini juga meringankan kerja kita ketika ada tuntutan untuk penilaian kinerja karena sudah dicicil tiap harinya.

Karena jujur saja selama ini saya sendiri sebagai guru BK kadang suka bingung apa yang harus didahulukan untuk dikerjakan. Dalam mengatur meja kerja ini beliau membaginya menjadi 3 section berdasarkan kontinuitasnya. Pertama untuk berkas yang sering diakses, kedua untuk berkas yang di akses tiap hari, dan ketiga berkas yang diakses sesuai kebutuhan.

Berkas yang sering diakses, yaitu jurnal kegiatan harian.
Untuk jurnal kegiatan harian beliau lebih suka menyimpannya di onedrive. Karena bisa diakses sewaktu-waktu baik melalui  laptop maupun handphone. Jadi setiap kali selesai melakukan kegiatan layanan kita bisa menuliskannya secara langsung. Dan yang paling penting adalah jangan lupa untuk mencetaknya di akhir bulan supaya tidak menumpuk nantinya.

Berkas yang diakses tiap hari, antara lain form layanan konsultasi, konseling, bimbingan, dan catatan anekdot. Semuanya berupa hardcopy yang nantinya akan ditulis tangan segera setelah melakukan layanan. Masing-masing dimasukkan dalam map snell sesuai kategorinya dan disusun dalam dalam box officer yang diletakkan di atas meja kerja agar mudah diakses ketika dibutuhkan. Dalam hal ini lebih memilih metode manual karena dari masing-masing formnya membutuhkan tanda tangan konseli.


Berkas yang diakses sesuai kebutuhan, antara lain form panggilan, form home visite, studi kasus, mediasi, referal, dan observasi. Dengan alasan yang sama semuanya juga dalam bentuk hardcopy. Yang masing-masing dimasukkan dalam map dan disimpan di dalam lemari mengingat penggunaannya yang menyesuaikan kebutuhan.


Usut punya usut, beliau sendiri ternyata terinspirasi untuk melakukan organizing karena mengamati salah seorang temannya yang sudah almarhum.

"Jika suatu saat kita tidak ada dan seseorang membutuhkan data yang kita miliki, ini nantinya akan mempermudah orang itu, secara tidak langsung kita sudah mendapatkan jariyah dari hal-hal kecil ini karena mempermudah oran lain", begitu ungkapnya.


#100harimenulisguru2022
#akumenulisuntukdiridannegeri
Share:

Thursday, January 20, 2022

Monday Sickness





"Kenapa kamu kemarin ndak masuk?" tanyaku pada seorang siswa.
"Sakit bu, tiba-tiba pusing."
"Kenapa tiap hari senin selalu ada saja alasan kamu?"
Obrolan kecil ini mengingatkan saya pada masa lalu, Monday Sickness.
Penyakit yang membuat penderitanya merasa panik, takut dan cemas tiap menghadapi Senin.

Seingat saya dulu penyakit ini mulai tumbuh dan bercokol sejak duduk di bangku SMP kelas 1.
Dimana waktu itu bagi saya adalah masa-masa peralihan dari masa bermain ke masa belajar, masa persahabatan ke masa persaingan.
Terlalu ekstreem? Entahlah, tapi begitu kenangan yang terasa.
Mungkin karena sekolah saya dikenal sekolah favorite.
Mungkin karena saya anak desa yang pindah ke kota dan terkaget-kaget.
Mungkin karena naluri harga diri saya yang berambisi namun tak berujung manis sekalipun berjuang mati-matian.
Atau mungkin karena saya yang terlalu overthingking.
Begitu banyak kemungkinan di kepala saya.
Tapi pada intinya penyakit ini diperparah dengan kepribadian saya yang introvert.

Awalnya, saya pikir penyakit ini akan menghilang dengan sendirinya seiring bertambahnya usia.
Namun faktanya, penyakit ini berlanjut hingga saya duduk di bangku SMA, dengan alibi yang sama.

Bukan tanpa sebab penyakit ini tiba-tiba datang menghampiri.
Penyakit ini datang terutama ketika seseorang benar-benar menghabiskan waktu liburnya di hari minggu tanpa berbuat apa-apa, sehingga ketika dihdapkan dengan hari senin penderitanya merasa panik, takut dan cemas meghadapi tantangan yang akan ditemui.

Terlebih lagi jika di senin itu ada tugas atau tanggungjawab yang harus dipenuhi namun belum diselesaikn karena sibuk menghabiskan waktu libur.
Selalu saja ada bisikan ketika akan mengawali senin,"Baiknya hari ini kamu tidak masuk! Gunakan waktumu ini untuk mempersiapkan hari berikutnya, kerjakan tugas dan tanggungjawabmu untuk besok di hari ini dengan sebaik mungkin! Hari ini siapkan mental dan moodmu saja untuk besok!"

Di saat-saat sperti itu keberadaan keluarga menjadi sangat penting.
Saya sangat bersyukur ketika itu kedua orangtua saya menganggap remeh penyakit saya dengan tetap memaksa saya pergi ke sekolah, walau kadang dipenuhi dengan drama.

You know what?
Penyakit itu perlahan-lahan mulai terkikis setelah saya memasuki gerbang sekolah, kemudian memasuki ruang kelas, hingga bertemu teman sekelas, mengobrol dan mulai menghilang dengan sendirinya setelah melewati jam pelajaran pertama.

Ya walaupun di senin berikutnya tetap terjadi drama yang sama karena problem utamanya belum terpecahkan, tapi setidaknya saya diajarkan untuk dibiasakan menghadapi rasa takut di usia itu.
Di usia yang seharusnya berangkat sekolah karena kesadaran akan tanggungjawab atau mungkin kebutuhan.
Di usia yan menurut saya sudah tidak pantas lagi untuk dipaksa-paksa pergi ke sekolah layaknya anak TK.

Saya bersyukur waktu itu orangtua saya tidak mencari pembelaan atas penyakit saya dengan alibi berbagai macam teori dan menyalahkan lingkungan atau orang-orang di sekitar saya agar orang-orang mau memaklumi keadaan saya.

Sampai disini saya baru paham slogan salah satu e-commerce 'Mulai Aja Dulu!' ternyata benar adanya.


#100harimenulisguru2022
#akumenulisuntukdiridannegeri

Share: