"Assalamu'alaikum. Bu, mau curhat, apa ibu ada waktu?" pesan singkat salah seorang siswa binaanku, sebut saja dia Andi.
"Wa'alaikumsalam. Silahkan!." jawabku singkat.
Sejak awal saya memang menfasilitasi siswa binaan saya untuk konsultasi non tatap muka kalau-kalau mereka malu, dengan bantuan aplikasi yang umum digunakan adalah whatsapp yang tidak terbatas ruang dan waktu, sampai-sampai sesi konseling kali ini bersama Andi tidak terasa sudah berlangsung selama 2 jam dan jam sudah menunjukkan pukul 11.00 malam.
"Sudah lega?" tanyaku
"Iya bu" jawab Andi.
"Alhamdulillah, kalau begitu segera tidur sudah malam, besok masih sekolah bangunnya biar tidak kesiangan." Kataku ingin mengakhiri.
"Iya bu"
Ini bukan pertama kalinya Andi menghubungiku hanya sekedar untuk curhat. Saya bahkan sampai tau semua hal yang dia suka dan tidak suka hingga aktivitas hariannya, karena itu-itu saja topik yang dibahasnya. Ba'da isya' adalah waktu yang digunakan Andi untuk curhat ke saya. Mungkin karena sudah tau jadwal saya pegang HP adalah setelah isya', setelah pekerjaan rumah beres dan persiapan berangkat tidur.
Anehnya Andi tidak pernah melakukan sesi konseling secara tatap muka, mungkin tiap anak berbeda ada yang lebih suka bercerita langsung dan ada yang suka via chat.
Namun yang menjadi pikiran saya adalah sikap Andi ketika bertemu saya, kikuk dan tidak berani menatap.
"Bukankah biasanya dia kalau sudah bercerita via chat panjang lebar sampai tidak bisa di rem?"
"Bukankah dia biasanya termasuk orang yang cerewet?"
"Kenapa diam seribu bahasa, menunggu umpan baru bersuara?"
Ada begitu banyak pertanyaan di benak saya.
"Jangan-jangan? wah bahaya!" pikirku.
Pengalaman pertama saya ketika menjadi guru BK, lucu tapi berbahaya.
Waktu itu yang terpikir hanyalah bagaimana merubah persepsi siswa yang mengaggap BK sebagai polisi sekolah.
Karenanya segala cara diupayakan dalam rangka menumbuhkan rasa nyaman di hati anak-anak.
Namun yang terjadi justru di luar dugaan saya.
Apa yang akan terjadi jika konselinya baper?
Mungkin karena waktu itu status saya yang masih lajang dan bisa dibilang masih muda dibandingkan guru-guru yang ada.
Kasus seperti ini ternyata tidak hanya menimpa saya guru BK. Guru mata pelajaran lainpun yang statusnya masih sama-sama single dan terbilang masih muda juga pernah bersinggungan dengan kasus ini.
Hingga saya bertemu dengan penjelasan Dr. Adi W Gunawan tentang ego state atau bagian dari diri kita yang aktif atau mengendalikan diri kita pada suatu saat tertentu. Sederhananya, ketika kita dihadapkan pada sebuah pilihan semisal waktu bangun di pagi hari ada dua bagian dalam diri kita yang 'ribut'. Suara-suara yang kita ikuti, dia adalah ego state yang aktif.
Seorang wanita karir atau bos di suatu perusahaan misalnya yang bekerja di kantor ia mengunakan ego state (sebut ego manajer) yang berbeda ketika berada di rumah dan menjadi seorang istri (sebut ego istri). Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi seandainya jika dia menjadi istri masih menggunakan ego manajernya.
Termasuk juga satu contoh pengalaman di atas, murid yang baper dengan gurunya atau guru yang baper dengan muridnya, bisa jadi ada yang salah pakai ego.
Hal ini mengantarkan saya pada kesimpulan bahwa seorang yang profesional adalah orang yang mampu menggunakan ego statenya sesuai perannya.
#100harimenulisguru2022
#akumenulisuntukdiridannegeri
Keren ceritanya Kak. Ada beberapa kata yang belum baku. Silahkan ( silakan), sekedar ( sekadar ), tau ( tahu). Lanjut Kak.
ReplyDeleteTerimakasih untuk koreksinya kak🙏
ReplyDelete