"Digigit semut!" ketus jawabnya.
"Hah............." shock dengan jawabannya yang seolah ingin memancing emosiku.
Sedikit kesal karena sikapnya yang tidak sopan, tapi yang ada dipikiran saya "Apa sebenarnya yang membuat anak ini kesal?"
Ini adalah pertemuan pertamaku dengannya ketika menjaga ulangan di kelas XI. Kesan pertama begitu menohok rasanya. Usut punya usut ternyata Ananda mendapatkan label di sekolah sebagai anak yang bandel sekalipun tidak pernah bolos sekolah. Ada saja kelakuannya yang membuat guru marah-marah tiap kali mengajar di kelasnya.
Pemberian label ternyata berdampak kuat pada anak, anak merasa bahwa semua gurunya mengenalnya sebagai anak yang badung sehingga dia merasa percuma membuat identitas, toh yang dikenal tetap badungnya. Seolah mereka tahu bahwa apapun yang terjadi -tahun baru, kelas baru, guru baru- mereka tidak dapat lepas dari takdir mereka. Namun tetap satu faktanya, kebencian akan memperburuk keadaan.
"Sesulit itukah mendekatinya?" entah kenapa pikiran saya tertantang setelah mengetahui fakta sebenarnya.
Sampai pada suatu ketika di sekolah kami ditempati oleh sebagian mahasiswa PPL dari salah satu universitas negeri di jawa timur yang kebetulan jurusannya adalah bimbingan konseling. Seperti biasa mahasiswa ini mendapat tugas melakukan kegiatan layanan, salah satunya adalah konseling individu.
Namun betapa terkejutnya saya ketika melihat anak yang di cap badung itu adalah konseli dari salah seorang siswa tadi.
"Bisa sopan juga ternyata" dalam hati terkejut melihat dia berjalan menunduk menuju ruang konseling disusul guru PPL dibelakangnya.
"Kalah set wis" gumamku.
Seorang ahli manajemen kelas, Michael L memberi saran terkait cara memperlakukan anak yang sulit diatur dengan berpura-pura menganggap mereka sudah berprilaku baik dengan tetap memperlakukan mereka dengan kebaikan, humor dan rasa hormat yang sama seperti yang kita lakukan pada semua siswa.
#100harimenulisguru2022
#akumenulisuntukdiridannegeri
0 comments:
Post a Comment