Saturday, February 5, 2022

Karena Guru Harus Sehat Mental





"He Nyah, Bu Mawar kemarin habis dari psikiater lho!" kata Bu Melati memberitahuku dengan excited yang tanpa sengaja terdengar oleh beberpa teman di sampingnya.

"Hah... kenapa?" sahut mereka terkejut.

"Gak nyangka, selama ini kelihatan lempeng-lempeng saja kok, punya masalah apa emangnya kok sampe gitu?" timpal yang lainnya.

Tanpa disadari obrolan kecil ini akhirnya menarik perhatian beberapa guru yang lain hingga terdengar oleh Bu Mawar sendiri.

"Bu Mawar kenapa?"
"Bu Mawar gak nyangka?"
"Selama ini yang kelihatan paling tenang kok tiba-tiba punya masalah sampe begitu?"
"Jangan dipendem sendiri bu, dikeluarkan."
"Saya biasanya kalau ada masalah dipakai tidur, makan sama dengerin ceramah bu! Boleh dicoba."

Tetiba Bu Mawar segera diberondong dengan berbagai pertanyaan dan penguatan dari teman-temannya yang penasaran.

Bu Mawar yang terkejut hanya bisa berulang kali mengedipkan matanya gelagapan seolah-olah menjawab tidak apa-apa aku sudah baik-baik saja.

"Nyah, aku pengen!" sahut Bu Melati, membuyarkan perhatianku pada Bu Mawar.
"Hah? Ya segera diagendakan jadwalnya?" sahutku yang tanpa sengaja obrolan kami juga di dengar.

"Heh, aku kalau ada masalah ya tak pakai tidur, makan sama dengarkan ceramah bu, dicoba bu!"

"Heemm... ehehe" Bu Melati yang kaget hanya bisa tersenyum kecut.

Saya sendiri sudah paham kenapa dia bersikap demikian. Ini bukan pertama kalinya baginya mendapatkan saran berbau religi untuk mengatasi masalahnya, yang kebanyakan membuatnya merasa tersudut sebagai hamba yang seolah-olah jauh dengan Tuhannya. 
Maklumlah masih banyak orang yang menghubungkan kesehatan mental dengan tingkat keimanan seseorang. 

Saya sendiri sedikit banyak sudah mengerti persoalan yang dialaminya tapi saya merasa masih ada banyak yang disembunyikannya, sekalipun kami sudah terbiasa ngobrol via telepon ber jam-jam ketika membahas ini. Lebih tepatnya bukan membahas tapi lebih banyak mendengar dan memberikan pertanyaan bantahan mengingat banyak sekali pikiran negatif yang muncul darinya.

Pikiran negatif yang muncul dalam diri seseorang ini dalam psikologi dikenal dengan istilah negatif self-talk. Kebiasaan kita yang cenderung merenungkan dan memikirkan pikiran menindas yang sama berulang-ulang ini akan membuat seseorang menjadi stress bahkan depresi.

Untuk mengatasi hal itu seseorang disarankan untuk menggantinya dengan positif self-talk ketika negatif self-talk itu muncul agar tidak semakin kuat dan tumbuh dalam diri. Cara lain yang juga membantu ketika pikiran-pikiran negatif itu muncul adalah dengan mencatatnya bukan mengabaikannya kemudian mengidentifikasinya secara singkat dan jelas. 
Misal pikiran negatifnya, "Saya tidak bisa menguasai kelas."
Identifikasinya,"Saya seorang guru baru, saya butuh jam terbang untuk bisa menguasai kelas."
Dengan identifikasi yang jelas kita bisa menyingkirkan pikiran mentah dari kepala kita.

Karenanya saya sangat setuju sekali ketika dirinya mengajukan diri untuk menemui psikiater.
Mungkin di sana dia lebih leluasa untuk bercerita karena saling tak mengenal background.

Sampai di sini saya baru sadar betapa beratnya tugas seorang guru.
Apa yang akan terjadi pada peserta didik jika si pendidik yang bertugas mendidik sedang ruwet pikirannya, sedang gelisah hatinya hingga terganggu mentalnya?


#100harimenulisguru2022
#akumenulisuntukdiridannegeri

Share:

0 comments:

Post a Comment