Tuesday, February 8, 2022

Anak Berhak Bahagia



"Assalamu'alaikum. Bapak menginformasikan hari ini Ananda tidak masuk lagi, mohon perhatiannya." Kataku melalui pesan singkat yang ku kirim via whatsapp."
"Wa'alaikumsalam. Lho bu tadi berangkat saya antar ke sekolah." Balas beliau kaget.
"Enjih Bapak, di sekolah mboten enten."

Entah kenapa untuk kasus kali ini saya tidak mampu se-strength biasanya, meskipun sudah berulang kali kejadian ini terjadi. Bisa dibilang kejengkelan sudah mencapai level maksimum tapi ketika dihadapkan langsung dengan si anak luntur sudah amarah yang memuncak ini.

Mungkin karena masih situasi pandemi yang tidak bisa menuntut anak untuk tertib hadir di sekolah.
Mungkin karena program sekolah adalah sekolah ramah anak. 
Mungkin juga karena backgroundnya yang seorang anak piatu. 
Atau mungkin karena ego kakak yang dominan padaku, mengingat problem yang sama juga menimpa pada adik saya. 
Entahlah, yang jelas bagi saya batas antara benar dan salah menjadi buram untuk kasus 'memaklumi' ini.

Ketika membahas permasalahan ini pun Sang Ayahandanya hanya bisa berkaca-kaca mengingat betapa sakit hatinya di bohongi anak sendiri berulang kali, sebut saja dia Banyu (samaran). Sekalipun berbagai cara sudah ditempuh Ananda tetap saja pada perilaku buruknya.

Seketika moment ini membawaku kepada kejadian 3 tahun silam, ketika adik bungsuku masih di awal remaja.

Apa hidup isinya cuma main game? (dia jawab : Iyalah sambil asyik main game)

Main game itu butuh kuota! Beli kuota pake apa? Uang kan? (dia jawab : Di warung sebelah rumah kan juga bisa, gratis malah)


Dapat uang untuk beli kuota darimana? kerja kan? (dia jawab : minta ayah lah)


Sampai kapan mau minta Ayah? Kalao Ayah sudah nggak ada minta siapa? Mau nggak mau kan harus kerja! (dia diem)


Supaya dapat kerja harus punya apa? ijazah sama keterampilan kan? 
(dia jawab : kerja jadi Youtuber kan bisa nggak pake ijazah.... Si Youtuber****** aja nggak lanjut sekolah karena sudah dapat uang banyak dari Youtube)

Oke kerja jadi Youtuber, Youtuber apa? (dia jawab : Youtuber game)


Sampe kapan mau nge-game? sampe tua? (dia jawab : iya, kan ada itu ****** youtuber game sudah bapak-bapak kayak ayah)


Jadi Youtuber juga harus sekolah supaya bisa edit video yang bagus kan? (dia jawab : lihat video tutorial kan bisa)"


dst....dst... (percakapan masih berlanjut dengan topik yang lebih ekstrim)

Semenjak dia suka game dia lebih suka dirumah atau di warung (karena wifi) daripada sekolah 

semenjak dia suka game, dia sering tidur larut malam dan bangun kesiangan
semenjak dia suka game, dia mengabaikan semua tugas sekolahnya
semenjak dia suka game, emosinya susah dikontrol

Dan sepertinya kekesalanku terhadap adik sudah dibaca oleh Ayah
"Kamu belum tau rasanya jadi orangtua, 
Kalau masih ada ibu, Ayah masih bisa tega ke adikmu
karena nanti ibu yang akan ngedemne (mengademkan) hati adikmu
Tapi sekarang, ibu sudah nggak ada
Kalau Ayah keras ke adikmu, dia sakit hati larinya kemana?
Sementara kamu sudah sibuk dengan urusanmu sendiri
Kalau Ayah keras, kamu jangan ikut keras
Kasihan adikmu
Belajar jadi ibu
Nanti pada akhirnya kalau Ayah nggak ada kamu juga yang menggantikan peran Ayah dan Ibu
Yang ikhlas dengan adik
Kalau kamu baik ke adikmu, mereka nanti  juga baik ke kamu
Daripada bicara salahnya siapa, lebih baik ayo disikapi gimana adikmu ini supaya ndak tambah parah. Karena adik jadi seperti ini sudah akibat bukan sebab.
Tetap dukung adik, syukur-syukur hobi jalan sekolah jalan.
Ndak usah perdulikan orang ngomong apa, toh mereka cuma bisa ngomong
Kalau diberi PR seperti ini juga belum tentu bisa ngatasi
Kecuali kalau diberi saran dicoba ikuti, siapa tau cocok
Ini ujian buat kita, suatu saat pasti ada masanya adikmu berubah."

Tidak terasa 3 tahun sudah berlalu. 
Kalau waktu itu Ayah tidak menurunkan egonya karena dibayangi ketakutan agar adik tetap bertahan di sekolah yang katanya favorit itu dengan mengabaikan kelemahannya 'kecanduan gadget' dengan meminta orang lain tetap memakluminya, 
akankah adik seperti sekarang?
Tahu batasan waktu kapan sekolah, kapan main?
Bangun sendiri tanpa harus dibangunkan?
Tanggungjawab dengan tugas sekolahnya dan pilihannya?


#100harimenulisguru2022
#akumenulisuntukdiridannegeri



Share:

0 comments:

Post a Comment