"Kenapa kamu kemarin ndak masuk?" tanyaku pada seorang siswa.
"Sakit bu, tiba-tiba pusing."
"Kenapa tiap hari senin selalu ada saja alasan kamu?"
Obrolan kecil ini mengingatkan saya pada masa lalu, Monday Sickness.
Penyakit yang membuat penderitanya merasa panik, takut dan cemas tiap menghadapi Senin.
Seingat saya dulu penyakit ini mulai tumbuh dan bercokol sejak duduk di bangku SMP kelas 1.
Dimana waktu itu bagi saya adalah masa-masa peralihan dari masa bermain ke masa belajar, masa persahabatan ke masa persaingan.
Terlalu ekstreem? Entahlah, tapi begitu kenangan yang terasa.
Mungkin karena sekolah saya dikenal sekolah favorite.
Mungkin karena saya anak desa yang pindah ke kota dan terkaget-kaget.
Mungkin karena naluri harga diri saya yang berambisi namun tak berujung manis sekalipun berjuang mati-matian.
Atau mungkin karena saya yang terlalu overthingking.
Begitu banyak kemungkinan di kepala saya.
Tapi pada intinya penyakit ini diperparah dengan kepribadian saya yang introvert.
Awalnya, saya pikir penyakit ini akan menghilang dengan sendirinya seiring bertambahnya usia.
Namun faktanya, penyakit ini berlanjut hingga saya duduk di bangku SMA, dengan alibi yang sama.
Bukan tanpa sebab penyakit ini tiba-tiba datang menghampiri.
Penyakit ini datang terutama ketika seseorang benar-benar menghabiskan waktu liburnya di hari minggu tanpa berbuat apa-apa, sehingga ketika dihdapkan dengan hari senin penderitanya merasa panik, takut dan cemas meghadapi tantangan yang akan ditemui.
Terlebih lagi jika di senin itu ada tugas atau tanggungjawab yang harus dipenuhi namun belum diselesaikn karena sibuk menghabiskan waktu libur.
Selalu saja ada bisikan ketika akan mengawali senin,"Baiknya hari ini kamu tidak masuk! Gunakan waktumu ini untuk mempersiapkan hari berikutnya, kerjakan tugas dan tanggungjawabmu untuk besok di hari ini dengan sebaik mungkin! Hari ini siapkan mental dan moodmu saja untuk besok!"
Di saat-saat sperti itu keberadaan keluarga menjadi sangat penting.
Saya sangat bersyukur ketika itu kedua orangtua saya menganggap remeh penyakit saya dengan tetap memaksa saya pergi ke sekolah, walau kadang dipenuhi dengan drama.
You know what?
Penyakit itu perlahan-lahan mulai terkikis setelah saya memasuki gerbang sekolah, kemudian memasuki ruang kelas, hingga bertemu teman sekelas, mengobrol dan mulai menghilang dengan sendirinya setelah melewati jam pelajaran pertama.
Ya walaupun di senin berikutnya tetap terjadi drama yang sama karena problem utamanya belum terpecahkan, tapi setidaknya saya diajarkan untuk dibiasakan menghadapi rasa takut di usia itu.
Di usia yang seharusnya berangkat sekolah karena kesadaran akan tanggungjawab atau mungkin kebutuhan.
Di usia yan menurut saya sudah tidak pantas lagi untuk dipaksa-paksa pergi ke sekolah layaknya anak TK.
Saya bersyukur waktu itu orangtua saya tidak mencari pembelaan atas penyakit saya dengan alibi berbagai macam teori dan menyalahkan lingkungan atau orang-orang di sekitar saya agar orang-orang mau memaklumi keadaan saya.
Sampai disini saya baru paham slogan salah satu e-commerce 'Mulai Aja Dulu!' ternyata benar adanya.
#100harimenulisguru2022
#akumenulisuntukdiridannegeri
0 comments:
Post a Comment