Friday, February 18, 2022

25 Ide Reward untuk Siswa Sekolah Menengah Atas

   





Pemberian reward pada siswa sering dilakukan pada tingkat sekolah dasar maupun sekolah menengah pertama. Reward ini digunakan untuk mendorong perilaku positif siswa di sekolah yang secara tidak langsung juga meningkatkan hubungan siswa dengan guru. Namun, untuk tingkat sekolah menengah atas guru harus sedikit berpikir mengenai pemberian reward yang disukai oleh siswa. Berikut ini merupakan idea pemberian reward untuk siswa tingkat menegah atas yang penulis kumpulkan dari berbagai sumber di internet, semoga bisa menjadi inspirasi:
Share:

Sunday, February 13, 2022

Ketika Dia Tidak Tahu Kalau Dia Salah [Part 1]

  



"Bu, mohon bantuannya" beberapa siswa memohon.
"Ada apa?"
"Pak Koko tiba-tiba keluar dari kelas kami, karena si Jago berulah." jelasnya.
"Sudah menemui Pak Koko kah?" tanya guru penasaran.
"Sudah bu, katanya jangan temui saya!"
"Maksudnya, Pak Koko butuh waktu untuk menenangkan diri untuk saat ini."

Cara kita berbicara memilki dampak pada orang lain. Karenanya kita sebagai orangtua dan guru perlu berhati-hati dengan cara kita berbicara pada anak. Terutama cara kita memilih mengekspresikan diri dengan menggunakan bahasa yang menuduh ataukah dengan bahasa yang tegas.

Bahasa menuduh akan terlihat sebagai serangan bagi lawan bicara, sementara bahasa tegas dengan sangat jelas mengungkapkan perasaan kita yang sebenarnya dengan penuh hormat.

Salah satu ciri bahasa menuduh adalah menggunakan kata anda, kamu, kalian, mereka dalam percakapan, misalnya 'kamu harus' dan 'kalian jangan'. Hal ini akan membuat orang lain ingin membela diri.

Berikut ini merupakan contoh kejadian dan kalimat yang mungkin bisa ditemui ketika berhadapan dengan peserta didik:

Kalimat menuduh : Saya ingin kamu berhenti membuat saya marah
Kalimat asertif : Sejujurnya saya sangat terganggu dan sakit hati dengan sikapmu

Kalimat menuduh : Saya rasa kalian tidak peduli dengan keberadaan saya di kelas ini.
Kalimat asertif : Entah kenapa saya merasa sendiri dan tidak bisa terhubung dengan kalian ketika berada di kelas ini.

Kalimat menuduh : Jangan bersikap kasar!
Kalimat asertif : Saya juga ingin diperlakukan dengan baik.

Kalimat menuduh : Jangan berisik!
Kalimat asertif : Saya kesulitan untuk fokus jika ada suara ribut-ribut

Kalimat menuduh : Jangan menghubungi saya dulu!
Kalimat asertif : Saya butuh waktu untuk sendiri dulu

Kalimat menuduh : Kenapa kalian tidak memperhatikan penjelasan saya?
Kalimat asertif : Saya sedih ketika ilmu yang saya bawa serasa diremehkan, seolah-olah merasa sudah cukup ilmunya, sudah tahu masa depan seperti apa yang akan dihadapi nantinya.

Kalimat menuduh : Jangan malas! 
Kalimat asertif : Saya butuh usaha kalian untuk menyelesaikan tugas ini


#100harimenulisguru2022
#akumenulisuntukdiridannegeri
 
Share:

Curahan Hati Seorang Ibu Guru

  




Wanita itu namanya
Kata orang tempoe doloe dapur, sumur, kasur itu kehidupannya
Kini millenial jamannya
Tambah satu lagi urusannya
Kantor katanya
Pergi pagi, pulang petang aturannya
Mendidik anak bangsa itu tanggungjawabnya
Mencapai perkembangan yang optimal arahnya
Tapi kadang sedih rasanya
Melihat faktanya
Anak sendiri dititipkan pengasuhnya
Anak orang diasuh sebaik-baiknya
Anak sendiri dituntut kemandiriannya
Anak orang didampingi membimbingnya
Hingga anak sendiri terbiasa tanpa sosoknya 
Terbiasa yang mungkin juga dipaksakannya
Dipaksakan untuk rela 
Dan dipaksakan untuk tega
Padahal di masa-masa emasnya
Demi apa ya?
Begitulah ya pokoknya
Realita hidup di dunia Nya
Ada bersyukurnya
Pandemi momennya
Lebih banyak work form home nya
Pembalasan judulnya
Diplanning kegiatannya
Sampai stress anaknya
Karena tak biasanya
Dan karena terlalu menggebu-gebu ibunya
Sampai lelah dengan sendirinya
Karena tak sesuai harapannya
Hingga kesimpulannya
Nikmati momennya
Dengan bahasa kasih yang dibutuhkannya
Agar sampai ke hatinya
Dan terkenang di memorinya
Ada momen manis rupanya
Yang bisa diingatnya hingga tua
Saat di meja makan bersamanya
Saat membacakan dongeng sebelum tidurnya
Oh indahnya
Seperti ibuku dulunya
Yang lebih dulu menghadap Nya
Kini baru tahu rasanya
Tidak semudah itu ternyata
Hanya bisa memohon pada Nya
Semoga engkau selalu mendapatkan kebaikan dari Nya
Dimanapun engkau berada
Lebih dari kebaikan yang bisa ibu berikan pada mereka dan padaku anaknya


#100harimenulisguru2022
#akumenulisuntukdiridannegeri
  

Share:

Saturday, February 12, 2022

Agar Tekanan Tak Menjadi Halangan

 



"Mbak, hari ini dia ndak masuk," kata salah seorang guru yang bertugas absensi hari ini.
"Oke pak, terima kasih infonya."

Lagi-lagi anak bimbingan saya ini tidak masuk. 
Beberapa mingu ini dia memang  sering tidak masuk sekolah. 
Saya sampai hafal ritme harinya, tiap selasa.

Alasannya selalu sakit. Mulai dari sakit perut, pusing kepala, sampai badan lemas. 

Ternyata usut punya usut setelah diselami, ketidakhadirannya di sekolah adalah karena takut.

Dia merasa takut terhadap guru mapel tertentu karena pernah dimarahi, yang kebetulan jadwalnya adalah selasa.

Intinya dia menghindari hari selasa di jam pelajaran guru ini. 
Padahal di hari selasa, ada empat mapel. 
Itu artinya dia menghindari sumber masalah di hari selasa dengan mengorbankan mapel yang lain juga. 

Kejadian seperti ini sering saya temui di sekolah. 
Terlebih pada anak yang pendiam dan kurang mampu bersosialisasi dengan teman sekelasnya. 

Saya jadi ingat masa lalu saya ketika masih remaja, 
Ketika ada masalah yang benar-benar membuat saya tertekan dan tidak menemukan seseorang yang tepat untuk menceritakan permasalahan 
atau mungkin lebih tepatnya merasa orang lain tidak bisa mengatasi masalah saya. Saya lebih suka menjauh dari sumber masalah dan bahkan menghilang.

Beberapa waktu yang lalu, saya mengambil sampel pada 36 siswa tentang hal apa yang mereka lakukan untuk mengurangi stress. 

Berikut ini merupakan 5 hal teratas yang mereka lakukan:
  • Tidur
  • Menyendiri
  • Dengerin musik
  • Makan
  • Nonton (TV, Youtube)
Ke lima cara di atas merupakan cara atau strategi untuk mengurangi stress yang dikenal dengan istilah Coping Mechanism 

Tapi ternyata cara-cara di atas menurut Frydenberg, penulis Adolescent Coping Scale, dikatakan sebagai cara-cara yang tidak produktif . 
Coping produktif itu adalah bagaimana ketika ada masalah kita masih aktif secara fisik dan terhubung dengan lingkungan sosial. 
Bukan malah nggak nyambung ketika diajak ngobrol, lemes tak bergairah, linglung, sering bengong, sensitif. 
Saya banget...hehe

Apa saja sih coping yang produktif itu? 
  • Physical Recreation,  berolahraga 
  • Seek Relaxing Diversion, terlibat dalam kegiatan rekreasi umum (bukan olahraga) sendiri atau bersama orang lain
  • Focus on the positive, mengelola untuk tetap berpandangan positif dan tetap ceria 
  • Accept One's Best Effort, menghargai setiap langkah kecil (usaha) untuk menyelesaikan masalah
  • Benefit Finding, mencari hikmah dibalik musibah
  • Root-Cause Solving, mencari akar masalah agar tidak terulang
  • Social Support, sharing tentang masalah kepada seseorang dan meminta dukungan tentang pengelolaannya
  • Focus on Solving the Problem, merefleksi masalah, merencanakan solusi, dan menangani masalah secara sistematis
  • Seek Profesional Help, meminta bantuan ahli seperti konselor
  • Spiritual Growth, menemukan cara untuk mengubah masalah agar tumbuh secara spiritual dan emotional

Kalau kata Jeff Bezos, presidennya Amazon, 


"Stress biasanya disebabkan karena tidak segera melakukan sesuatu terhadap hal yang sebenarnya bisa kita kendalikan. 
Jadi, bila aku merasa bahwa sesuatu membuatku stress, itu adalah sinyal peringatan untukku.
Yang berarti bahwa ada sesuatu yang belum kuidentifikasi sepenuhnya yang sebenarnya mengganggu pikiranku, namun aku belum melakukan apapun untuk mengatasinya.
Ternyata segera setelah masalah itu kuidentifikasi dan melakukan langkah kecil pertama, 
seperti menelepon seseorang atau mengirimkan email atau apapun yang perlu dilakukan untuk memulai mencari solusi untuk sebuah permasalahan,
walaupun belum langsung terpecahkan, tapi kenyataan bahwa aku telah memulai sesuatu (apapun itu) 
dapat mengurangi stress yang disebabkan oleh masalah tersebut

Jadi, stress sebenarnya datang karena sering mengabaikan/menunda masalah yang seharusnya segera diselesaikan."

Namun yang pertama dan paling utama adalah kesadaran diri untuk menerima diri bahwa 'Ok, saya sedang stress'. Dan memahami emosi primer mana (marah, sedih, takut, gembira, jijik, terkejut, malu, tertarik) yang memicu stress. Dengan begitu kita bisa mengambil tindakan yang paling membantu untuk meredakan situasi.

#100harimenulisguru2022
Share:

Membingkai Ulang Keyakinan [Part 2]



"Bu, tolong anak ini diberi pelajaran supaya jera." kata salah seorang guru yang konsultasi pada saya.
"Berkali-kali sudah saya peringatkan tetap saja tidak ada perubahan. Malah makin berani, malah makin tidak sopan." lanjutnya berapi-api.

Terkadang pikiran seseorang yang disampaikan dengan emosi secara tidak langsung akan mempengaruhi pikiran dan emosi kita juga. Namun, sebagai seorang konselor hal ini sangat melanggar kode etik. Karena dengan adanya prasangka akan mempengaruhi hubungan konselor dan konseli yang mengakibatkan rendahnya mutu layanan sehingga merugikan orang lain.

Karenanya berikut ini beberapa daftar positif yang bisa dijadikan panduan untuk mewujudkan keyakinan, perasaan, dan tindakan positif pada peserta didik. Sehingga kita bisa belajar untuk melihat perilaku 'negatif' pada peserta didik secara lebih positif dengan melihat perilaku mereka dari sudut pandang yang berbeda. Karena setiap situasi dan peserta didik memiliki kebutuhan yang unik.

(-)Bossy
(+)Punya bakat kepemimpinan

(-)Terlalu bergantung
(+)Penyayang, butuh ditemani

(-)Kompulsif(serba terencana)
(+)Teliti

(-)Sombong
(+)Percaya diri

(-)Pemarah
(+)Sedang stress, perlu menyampaikan apa yang dibutuhkan

(-)Penentang
(+)Punya prinsip, pemberani, butuh diakui

(-)Penuntut
(+)Asertif, To the point

(-)Dramatis
(+)Sadar secara emosional, expresif

(-)Penakut
(+)Hati-hati, pemikir

(-)Konyol
(+)Ceria

(-)Cerewet
(+)Pandai membedakan keinginan dan kebutuhan

(+)Terlihat bodoh
(-)Pandai menghibur

(-)Impulsif
(+) Spontan, bisa dipercaya

(-)Pemalas
(+)Butuh dibimbing

(-)Rame
(+)Periang

(-)Manipulatif
(+)Ingin dipenuhi kebutuhannya

(-)Brantakan
(+)Sedang berlatih

(-)Celometan
(+)Belajar mengekspresikan diri

(-)Nakal
(+)Mandiri, menjelajahi batasannya

(-)Tidak fokus
(+)Pemikir abstrak, memproses informasi

(-)Pendiam
(+)Penuh pertimbangan, reflektif

(-)Kaku
(+)Disiplin, mencari aman

(-)Sensitif
(+)Peka, sangat peduli

(-)Pemalu
(+)Menghargai kepercayaan

(-)Licik/ Curang
(+)Cerdik, kreatif

(-)Manja
(+)Dicintai

(-)Keras kepala
(+)Gigih

(-)Banyak bicara
(+)Komunikator yang baik

(-)Pengadu
(+)Mencari keadilan dan dukungan

(-)Pembantah
(+)Jujur



#100harimenulisguru2022
#akumenulisuntukdiridannegeri
Share:

Membingkai Ulang Keyakinan [Part 1]





"Saya ndak betah bu, saya ingin pindah kelas." keluh siswa padaku.
"Ingin pindah kelas sebabnya apa?" tanyaku.
"Saya merasa sendiri bu di kelas, saya rasa ndak ada anak yang mau berteman dengan saya."
"Mereka mungkin mengaggap saya aneh." 
"Aneh? Kenapa?" tanyaku lagi
"Mungkin karena saya suka menyakiti diri saya."

Keyakinan tentang diri memainkan peran besar dalam cara berpikir, merasa, dan bertindak setiap harinya. Jika kita percaya bahwa kita orang yang bodoh, jahat, atau tidak disukai, maka kita akan bertindak dengan cara yang membuat hal-hal itu menjadi kenyataan.  
Kalau dalam bahasa religi apa yang kita ucapkan dan yang kita pikirkan akan menjadi do'a yang dikabulkan. Karena Tuhan bersama prasangka hamba-Nya.

Ini menunjukkan pada kita bagaimana keyakinan tertentu dapat mempengaruhi tindakan kita sehingga membuat keyakinan itu  benar-benar terjadi. Keyakinan yang negatif akan menghasilkan hasil yang negatif. Keyakinan positif akan menghasilkan hasil yang positif pula.
Karenanya ketika keyakinan negatif muncul kita diminta untuk membingkai ulang keyakinan negatif menjadi keyakinan yang positif. Dalam psikologi teknik ini dikenal dengan istilah 'reframing'.

Ketika keyakinan negatif itu muncul cobalah untuk menjawab pertanyaan berikut ini:
  • Apa pemikiran yang lebih membantu?
  • Apa ada kemungkinan lain?
  • Apa yang akan dikatakan orang-orang yang peduli pada saya?
  • Apa kemungkinan terburuk yang bisa terjadi?
  • Jika sahabat saya memiliki pemikiran ini, apa yang akan saya katakan padanya?
  • Apakah saya yakin bahwa ini 100% benar?
  • Jika yang terburuk benar-benar terjadi, apa yang dapat saya lakuan untuk menghadapinya dan siapa yang dapat membantu saya?
  • Apa hasil terbaik yang mungkin terjadi?
Kegiatan memprogram ulang keyakinan ini sangat cocok dijadikan latihan pada siswa untuk membentuk afirmasi positif pada dirinya
  1. Minta siswa untuk menuliskan 3 keyakinan negatif nya
  2. Minta siswa untuk melihat keyakinan mereka dari sudut pandang yang lain sehingga lebih positif
  3. Minta siswa untuk merubahnya menjadi keyakinan yang positif
  4. Minta siswa untuk membacanya dengan keras untuk diri sendiri masing-masing 5x

Berikut ini adalah contoh merubah keyakinan negatif ke keyakinan positif

(-)Tidak ada seorangpun yang menyukai saya
(+)Orang perlu mengenal saya sebelum menyukai saya

(-)Semua ini kesalahan saya sehingga membuatnya kecewa
(+)Saya perlu meminta maaf dan memperbaikinya

(-)Saya selalu membuat kesalahan
(+)Saya adalah manusia

(-)Bagaimana jika orang-orang mentertawakanku?
(+)Saya akan ikut tertawa, karena itu akan melepaskan stress

(-)Saya seharusnya tidak membuat kesalahan
(+)Saya akan belajar dari kesalahan ini

(-)Saya tidak akan pernah bisa melakukan ini
(+)Saya akan mencobanya lagi lain waktu

(-)Saya orang yang jahat
(+)Saya orang yang punya prinsip

(-)Mengapa ini selalu terjadi pada saya
(+)Pelajaran apa yang bisa saya ambil

(-)Saya benci diri ini
(+)Saya perlu memaafkan diri ini

(-)Sekarang semuanya berantakan
(+)Saya akan memperbaiki kerusakan ini

(-)Hidup saya kacau
(+)Saya perlu menata jadwal kegiatan saya

(-)Tidak ada orang yang bisa mengerti saya
(+)Saya perlu menceritakan keadaan saya agar orang bisa mengerti

(-)Saya tidak bisa menghadapi masalah ini
(+)Jika saya bisa menghadapi masalah ini, saya bisa menghadapi masalah yang lainnya

(-)Saya benar-benar bodoh
(+)Saya menyadari kesalahan saya

(-)Tidak ada orang yang peduli
(+)Orang akan tahu perasaan saya jika saya memberitahunya apa yang saya butuhkan

(-)Saya orang yang gagal
(+)Kegagalan saya membantu saya untuk belajar dan tumbuh

(-)Saya belum pernah melakukan ini sebelumnya
(+)Ini kesempatan untuk belajar sesuatu yang baru

(-)Saya terlalu malas untuk menyelesaikan ini
(+)Saya tidak bisa memasukkannya di jadwal tapi saya bisa memeriksa kembali beberapa prioritas



#100harimenulisguru2022
#akumenulisuntukdiridannegeri



Share:

Friday, February 11, 2022

Jika Perasaan Dapat Berbicara





Kesadaran emosional membantu kita mengetahui apa yang kita butuhkan dan inginkan atau tidak kita inginkan. Menyadari emosi dapat membantu kita membicarakan perasaan dengan lebih jelas, menghindari atau menyelesaikan konflik dengan lebih baik dan melewati perasaan sulit dengan mudah.

Namun masalahnya sebagian dari kita ada yang bahkan tidak tahu perasaan apa yang kita rasakan. Atau mungkin sudah tau perasaan apa itu, namun tidak tahu harus bersikap apa dengan perasaan yang muncul.

Berikut ini merupakan imajinasi penulis seandainya jika perasaan dapat berbicara.

Kesedihan mungkin memberitahuku, aku perlu menangis

Kesepian mungkin memberitahuku, aku perlu teman

Rasa malu mungkin memberitahuku, aku perlu mengasihi diriku

Kebencian mungkin memberitahuku, aku perlu memaafkan

Terganggu mungkin memberitahuku, aku perlu menjauh

Kehampaan mungkin memberitahuku, aku perlu melakukan sesuatu yang kreatif

Rasa marah mungkin memberitahuku, aku perlu memeriksa batasan-batasanku

Kecemasan mungkin memberitahuku, aku perlu bernafas

Stress mungkin memberitahuku, aku perlu melakukannya selangkah demi selangkah

Putus asa mungkin memberitahuku, aku perlu mencobanya lagi dengan benar 

Rasa takut mungkin memberitahuku, aku perlu menghadapinya

Merasa bersalah mungkin memberitahuku, aku perlu meminta maaf

Salah paham mungkin memberitahuku, aku perlu mengkomunikasikannya dengan jelas dan tegas

Rasa jijik mungkin memberitahuku, aku perlu menghindar

Kebingungan mungkin memberitahuku, aku perlu bertanya untuk meminta bantuan

Rasa iri mungkin memberitahuku, aku perlu bersyukur

Rasa lelah mungkin memberitahuku, aku perlu tidur

Terburu-buru mungkin memberitahuku, aku perlu membuat rencana

Kecewa mungkin memberitahuku, aku perlu menerimanya dan belajar darinya

Rendah diri mungkin memberitahuku, aku perlu menantang diriku 


#100harimenulisguru2022
#akumenulisuntukdiridannegeri



Share:

50 Hal yang Bisa Dikendalikan dalam Hidup




"Bu, saya enggak mau masuk kelas percepatan!" keluh seorang siswa kepada salah satu guru di sebelahku.
"Loh, kenapa mbak?" tanya guru tersebut.
"Pokoknya ndak mau bu!" jawabnya dengan menggebu-gebu.
"Saya takut kalau di kelas percepatan nilai saya jelek bu, karena harus saingan sama yang pinter-pinter." jelasnya.

Dalam kasus contoh di atas guru tersebut meminta siswa untuk menjawab 4 pertanyaan berikut:
1. Apa yang membuatnya khawatir?
2. Apa yang bisa dia kendalikan?
3. Apa yang paling penting baginya?
4. Dan apa yang bisa dilakukannya?

Seringkali kata takut, kalau-kalau, seandainya menjadi bayang-bayang yang membuat seseorang bertarung dengan pikirannya sendiri. Sampai-sampai belum benar-benar menjalaninya seseorang sudah kelelahan duluan. 

Kelelahan bahkan stress karena memikirkan sesuatu yang diluar kendali. Daripada sibuk memikirkan sesuatu yang diluar kendali lebih baik kita menghemat energi dan menghabiskannya pada hal-hal yang bisa kita kendalikan dan pada hal-hal yang penting.

Berikut ini adalah contoh 50 daftar yang bisa kita kendalikan. Harapannya dengan melihat daftar ini secara visual kita melihat apa yang bisa kita kendalikan. Latihan membuat daftar seperti ini akan sangat membantu mereka yang khawatir atau terlalu banyak berpikir.

1. Bagaimana kita merespon sesuatu
2. Siapa yang akan kita mintai bantuan
3. Kapan kita akan meminta bantuan
4. Memberitahu jika kita butuh istirahat
5. Bagaimana kita akan berprilaku
6. Berapa besar usaha yang akan kita keluarkan
7. Tidur yang cukup
8. Menyelesaikan tanggungjawab
9. Mengatakan apa yang kita butuhkan
10. Berapa banyak latihan yang ingin dilakukan
11. Membuat batasan diri
12. Menghormati batasan orang lain
13. Memaafkan atau menyimpan dendam
14. Kapan akan tersenyum
15. Mengakui kesalahan
16. Kapan akan menunjukkan empati
17. Menerima diri atau tidak
18. Apa yang kita fokuskan saat ini
19. Fokus ke hal negatif atau positif
20. Goal yang ingin diraih
21. Sikap kita
22. Mengikuti kata hati
23. Keputusan untuk menolong atau tidak
24. Bagaimana kita merawat diri
25. Mengikuti saran orang lain atau tidak
26. Jujur atau tidak
27. Mengungkapkan perasaan kita
28. Mengungkapkan harapan 
29. Bagaimana kita menafsirkan kejadian
30. Mengabaikan perilaku mengganggu
31. Meminta maaf ketika salah
32. Bagaimana berbicara pada diri
33. Memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan
34. Kapan mulai mencoba lagi
35. Memperlakukan orang lain dengan baik
36. Memperlakukan diri dengan baik
37. Berkata 'Tolong' dan 'Terima Kasih'
38. Keluar dan menikmati udara segar
39. Seberapa teratur atau bersih diri kita
40. Mengingatkan diri bahwa kita orang yang menyenangkan
41. Bagaimana kita menunjukkan kepedulian pada orang lain
42. Memilih bangkit kembali setelah jatuh
43. Bersyukur
44. Menepati janji
45. Menerima keadaan
46. Menggunakan kesalahan sebagai pembelajaran
47. Berdo'a (Memohon)
48. Cara yang kita pilih ketika menghadapi stress
49. Memilih dengan siapa akan berteman
50. Memilih kalimat yang akan kita ucapkan

Selamat mencoba membuat daftarmu sendiri!

#100harimenulisguru2022
#akumenulisuntukdiridannegeri



Share:

Thursday, February 10, 2022

Jika Kamu Dibully

   



"Bu, saya mau cerita tapi jangan sampai dia tahu kalau saya cerita bu?" pinta seorang siswa memelas padaku.
"Kenapa?" tanyaku.
"Saya takut bu!"
"Kamu merasa ndak amankah di kelas?"
"Iya bu?"

Dari pembicaraan singkat ini sudah tampak bahwa dia adalah korban bullying. Bullying bukan lagi kasus yang jarang ditemui di sekolah. Hanya saja korban-korbannya banyak yang tidak berani bersuara dan lebih suka memendamnya sendiri.

Seperti yang saya alami dulu, saya baru tahu kalau kejadian yang saya alami dulu termasuk bullying, bullying verbal tepatnya. Diejek dan dipanggil dengan nama julukan. 

Waktu itu, hal seperti ini dianggap hal yang biasa. Karena bukan saya sendiri korbannya. Hampir semua anak memiliki nama julukannya masing-masing. Namun, ada juga teman yang menganggapnya serius sehingga tiap kali bertemu dengan orang yang suka memanggilnya dengan nama julukan, membuat badannya gemetar ketakutan dan lebih memilih menjauh darinya. 

Nyatanya suatu perbuatan dikatakan bullying jika ditinjau dari si penerimanya/ korbannya. Merasa tersakitikah? Merasa sakit hatikah?

Kata seorang psikologi klinis Liza Marielly, "Memang bullying verbal efeknya tidak terlihat, tapi cukup mematikan."
Banyak kasus bunuh diri berasal dari cyber bullying dan verbal bullying. Dan lebih parahnya lagi dampak bullying dimasa kanak-kanak pada beberapa orang berpengaruh hingga kehidupan dewasanya, seperti tidak memiliki rasa percaya diri yang cukup untuk tampil di depan orang.

Pelaku bullying kadang mungkin juga tidak sadar bahwa perbuatan yang mereka lakukan termasuk bullying karenanya dalam hal ini keduanya perlu dipertemukan.

Berikut ini beberapa tips yang bisa diikuti jika peserta didik, anak atau saudara kita mengalami bullying:

1. Menjauh dari si pembully sebisa mungkin ke tempat yang aman atau tempat dimana ada kawan sebaya atau orang dewasa, seperti yang saya lakukan waktu itu.

2. Sebisa mungkin tidak sendirian.

3. Bersikaplah seolah-olah bullying tidak ada artinya bagimu. Tetaplah terlihat tenang dan percaya diri diluar meski sebenarnya di dalam kamu ketakutan. Jangan biarkan si pembully tahu itu.

4. Gunakan humor, dalam hal ini bisa gunakan teknik 'yo ancene' yang sudah saya tulis di tulisan sebelumnya.

5. Minta bantuan pada orang dewasa, ceritakan apa yang terjadi dan minta support.

6. Jadikan diri yang berjiwa besar dan tidak membalas. Karena itu hanya akan memperburuk keadaan.

7. Ingatkan diri bahwa kamu adalah orang yang berani, luar biasa, dicintai, layak dihormati dan dimiliki.




#100harimenulisguru2022
#akumenulisuntukdiridannegeri



Share:

Tuesday, February 8, 2022

Tidak Punya Waktu?



"Ayo silahkan tugas yang kemarin dikumpulkan!" pintaku pada murid-murid.
"Belum bu!" sahut anak-anak.
"Loh, kok belum?" tanyaku.
"Ndak ada waktu bu!"
"Tugasnya banyak bu!"

Masalah seperti ini sudah biasa dtemui oleh bapak ibu guru ketika menagih tugas kepada siswa.

Alasan waktu dan alasan banyak tugas selalu digunakan sebagai alibi pengalihan kesalahan.

Padahal faktanya waktu yang kita jalani setiap harinya adalah sama-sama 24 jam.

Pertanyaannya, dari waktu yang sama kenapa menghasilkan hasil yang berbeda?

Ada yang bisa mengerjakan semua tugas dengan baik, ada yang separuh, dan ada yang tidak sama sekali.

Ternyata permasalahannya ada di prioritas. Sebanyak apapun tugas jika anak memiliki prioritas dia akan tahu tugas mana yang harus didahulukan dengan demikian hidup lebih teratur dan meminimalisir stress.

Dalam hal ini kita perlu mengenalkan anak bagaimana menemukan prioritasnya dengan membuat skala prioritas.

Skala prioritas adalah urutan kebutuhan yang disusun berdasarkan tingkat urgensinya dari yang paling dibutuhkan atau sangat mendesak, dapat dtunda pemenuhannya, hingga yang tidak perlu dipenuhi.

Untuk menyusun  skala prioritas bisa menggunakan Matrix Eisenhower yang dirancang Dwight David Eisenhower (dalam Luxafor, 2018) yang membaginya menjadi 4 kuadran berdasrkan urgensi dan kepentingan:

Kuadran I : Mendesak dan Penting (DO)

  • Sangat penting dan harus segera dilakukan
  • Biasanya merupakan tugas yang paling memakan waktu dan energi dalam sehari
  • Tugas perlu dilakukan untuk menghindari konsekuensi negatif
Kuadran II : Tidak Mendesak dan Penting (DECIDE)
  • Tugas penting yang dapat dicicil pengerjaannya secara bertahap
  • Tetap harus menentukan target waktu penyelesaian sekalipun tidak mendesak agar berjalan sesuai rencana
Kuadran III : Mendesak dan Tidak Penting (DELEGATE)
  • Bisa diwakilkan / mendelegasikan
  • Tetap memeriksa tugas yang sudah didelegasikan
Kuadran IV : Tidak Mendesak dan Tidak Penting (DELETE)
  • Temukan dan hentikan kebiasaan/ aktivitas yang pada dasarnya hanya membuang-buang waktu



Berikut ini merupakan langkah-langkah untuk mulai membuat skala prioritas:

Langkah 1: 
Buat daftar kegiatan utama atau tugas yang ingin / perlu diselesaikan.

Langkah 2: 
Berikan skor pada masing-masing tugas:
Antara 0-10 pada tugas yang memiliki resiko (0 = tidak beresiko, 10 = resiko tinggi)
Antara 0-10 pada upaya yang dibutuhkan (0 = tidak perlu upaya nyata, 10 = butuh usaha besar)

Langkah 3:
Plot kegiatan dalam Matriks Eisenhower berdasarkan skor (skor di atas 5 termasuk ke dalam tugas dengan resiko tinggi dan upaya besar)

Langkah 4:
Prioritaskan dengan tepat, delegasikan atau hilangkan aktivitas yang berdampak rendah.

Selamat Mencoba!


#100harimenulisguru2022
#akumenulisuntukdiridannegeri



Share:

Pesan Penting Seorang Pensiunan Guru



"Bagaimana bapak ibu apa ada pertanyaan?" Ruangan rapat yang semula ramai tiba-tiba hening ketika pemimpin rapat bertanya.
Beberapa guru tampak menggerutu namun enggan mengangkat tangannya untuk menyuarakan pendapatnya.
Sementara beberapa yang lain tampak tenang-tenang saja seolah sudah biasa ditempa dengan keadaan yang berubah-ubah dan harus selalu siap.
Pandangan mata saya tertuju pada salah satu guru yang sudah pensiun dan masih diperbantukan di sekolah mengingat kekurangan guru pada mapel yang beliau ampu.
Sebelum pensiun beliau selalu bersuara ketika ada forum-forum terbuka seperti ini, mengkritik dan memberi saran sudah jadi makanan sehari-harinya. Maklumlah sepak terjangnya di dunia organisasi sudah tidak diragukan lagi baik di dalam sekolah maupun luar sekolah.
Namun kali ini forum tampak berbeda, sepi tidak ada yang memberi masukan bahkan pertanyaan.
"Kemana mereka semua?"
"Kenapa mereka diam saja?" 
"Bukankah ada yang tidak beres?" batinku meronta.
"Baiklah kalau tidak ada pertanyaan rapat kali ini kita akhiri di sini. Terimakasih, Wassalamu'alaikum wr.wb." ucap pemimpin rapat sekaligus undur diri dari ruang rapat.

Di senggang waktu ku dekati beliau yang sedang duduk membaca koran terbitan hari ini.
"Bapak tadi waktu rapat kok sudah ndak seperti biasanya?" tanyaku memelas.
Beliau yang seakan sudah tau arah pertanyaanku kemana menjawab dengan senyum, "Masih di dengarkah suara orang sepertiku ini?"
"Lah pak, kalau ndak ada yang senior yang mengingatkan yang muda-muda ini bagaimana jadinya." sahutku spontan.
"Sudah waktunya gantian, sekarang giliran yang muda-muda." 
"Menjadi idealis itu perlu karena itu identitas, terlepas idemu diterima atau tidak"
"Apapun keadaanya, apapun yang terjadi, bekerjalah karena anak didik, bukan karena yang lain."
"Tidak masalah jika kamu tidak bernilai dimata lembagamu, karena yang paling penting bagi seorang guru itu bernilai di mata anak didiknya."


#100harimenulisguru2022
#akumenulisuntukdiridannegeri



Share:

Anak Berhak Bahagia



"Assalamu'alaikum. Bapak menginformasikan hari ini Ananda tidak masuk lagi, mohon perhatiannya." Kataku melalui pesan singkat yang ku kirim via whatsapp."
"Wa'alaikumsalam. Lho bu tadi berangkat saya antar ke sekolah." Balas beliau kaget.
"Enjih Bapak, di sekolah mboten enten."

Entah kenapa untuk kasus kali ini saya tidak mampu se-strength biasanya, meskipun sudah berulang kali kejadian ini terjadi. Bisa dibilang kejengkelan sudah mencapai level maksimum tapi ketika dihadapkan langsung dengan si anak luntur sudah amarah yang memuncak ini.

Mungkin karena masih situasi pandemi yang tidak bisa menuntut anak untuk tertib hadir di sekolah.
Mungkin karena program sekolah adalah sekolah ramah anak. 
Mungkin juga karena backgroundnya yang seorang anak piatu. 
Atau mungkin karena ego kakak yang dominan padaku, mengingat problem yang sama juga menimpa pada adik saya. 
Entahlah, yang jelas bagi saya batas antara benar dan salah menjadi buram untuk kasus 'memaklumi' ini.

Ketika membahas permasalahan ini pun Sang Ayahandanya hanya bisa berkaca-kaca mengingat betapa sakit hatinya di bohongi anak sendiri berulang kali, sebut saja dia Banyu (samaran). Sekalipun berbagai cara sudah ditempuh Ananda tetap saja pada perilaku buruknya.

Seketika moment ini membawaku kepada kejadian 3 tahun silam, ketika adik bungsuku masih di awal remaja.

Apa hidup isinya cuma main game? (dia jawab : Iyalah sambil asyik main game)

Main game itu butuh kuota! Beli kuota pake apa? Uang kan? (dia jawab : Di warung sebelah rumah kan juga bisa, gratis malah)


Dapat uang untuk beli kuota darimana? kerja kan? (dia jawab : minta ayah lah)


Sampai kapan mau minta Ayah? Kalao Ayah sudah nggak ada minta siapa? Mau nggak mau kan harus kerja! (dia diem)


Supaya dapat kerja harus punya apa? ijazah sama keterampilan kan? 
(dia jawab : kerja jadi Youtuber kan bisa nggak pake ijazah.... Si Youtuber****** aja nggak lanjut sekolah karena sudah dapat uang banyak dari Youtube)

Oke kerja jadi Youtuber, Youtuber apa? (dia jawab : Youtuber game)


Sampe kapan mau nge-game? sampe tua? (dia jawab : iya, kan ada itu ****** youtuber game sudah bapak-bapak kayak ayah)


Jadi Youtuber juga harus sekolah supaya bisa edit video yang bagus kan? (dia jawab : lihat video tutorial kan bisa)"


dst....dst... (percakapan masih berlanjut dengan topik yang lebih ekstrim)

Semenjak dia suka game dia lebih suka dirumah atau di warung (karena wifi) daripada sekolah 

semenjak dia suka game, dia sering tidur larut malam dan bangun kesiangan
semenjak dia suka game, dia mengabaikan semua tugas sekolahnya
semenjak dia suka game, emosinya susah dikontrol

Dan sepertinya kekesalanku terhadap adik sudah dibaca oleh Ayah
"Kamu belum tau rasanya jadi orangtua, 
Kalau masih ada ibu, Ayah masih bisa tega ke adikmu
karena nanti ibu yang akan ngedemne (mengademkan) hati adikmu
Tapi sekarang, ibu sudah nggak ada
Kalau Ayah keras ke adikmu, dia sakit hati larinya kemana?
Sementara kamu sudah sibuk dengan urusanmu sendiri
Kalau Ayah keras, kamu jangan ikut keras
Kasihan adikmu
Belajar jadi ibu
Nanti pada akhirnya kalau Ayah nggak ada kamu juga yang menggantikan peran Ayah dan Ibu
Yang ikhlas dengan adik
Kalau kamu baik ke adikmu, mereka nanti  juga baik ke kamu
Daripada bicara salahnya siapa, lebih baik ayo disikapi gimana adikmu ini supaya ndak tambah parah. Karena adik jadi seperti ini sudah akibat bukan sebab.
Tetap dukung adik, syukur-syukur hobi jalan sekolah jalan.
Ndak usah perdulikan orang ngomong apa, toh mereka cuma bisa ngomong
Kalau diberi PR seperti ini juga belum tentu bisa ngatasi
Kecuali kalau diberi saran dicoba ikuti, siapa tau cocok
Ini ujian buat kita, suatu saat pasti ada masanya adikmu berubah."

Tidak terasa 3 tahun sudah berlalu. 
Kalau waktu itu Ayah tidak menurunkan egonya karena dibayangi ketakutan agar adik tetap bertahan di sekolah yang katanya favorit itu dengan mengabaikan kelemahannya 'kecanduan gadget' dengan meminta orang lain tetap memakluminya, 
akankah adik seperti sekarang?
Tahu batasan waktu kapan sekolah, kapan main?
Bangun sendiri tanpa harus dibangunkan?
Tanggungjawab dengan tugas sekolahnya dan pilihannya?


#100harimenulisguru2022
#akumenulisuntukdiridannegeri



Share:

Monday, February 7, 2022

Yang Paling Nyaring Paling Kesepian



"Kakinya kenapa le?" tanyaku pada seorang siswa yang memakai tongkat penyangga dengan perban di kakinya.
"Digigit semut!" ketus jawabnya.
"Hah............." shock dengan jawabannya yang seolah ingin memancing emosiku.
Sedikit kesal karena sikapnya yang tidak sopan, tapi yang ada dipikiran saya "Apa sebenarnya yang membuat anak ini kesal?"

Ini adalah pertemuan pertamaku dengannya ketika menjaga ulangan di kelas XI. Kesan pertama begitu menohok rasanya. Usut punya usut ternyata Ananda mendapatkan label di sekolah sebagai anak yang bandel sekalipun tidak pernah bolos sekolah. Ada saja kelakuannya yang membuat guru marah-marah tiap kali mengajar di kelasnya.

Pemberian label ternyata berdampak kuat pada anak, anak merasa bahwa semua gurunya mengenalnya sebagai anak yang badung sehingga dia merasa percuma membuat identitas, toh yang dikenal tetap badungnya. Seolah mereka tahu bahwa apapun yang terjadi -tahun baru, kelas baru, guru baru- mereka tidak dapat lepas dari takdir mereka. Namun tetap satu faktanya, kebencian akan memperburuk keadaan.

"Sesulit itukah mendekatinya?" entah kenapa pikiran saya tertantang setelah mengetahui fakta sebenarnya.

Sampai pada suatu ketika di sekolah kami ditempati oleh sebagian mahasiswa PPL dari salah satu universitas negeri di jawa timur yang kebetulan jurusannya adalah bimbingan konseling. Seperti biasa mahasiswa ini mendapat tugas melakukan kegiatan layanan, salah satunya adalah konseling individu.
Namun betapa terkejutnya saya ketika melihat anak yang di cap badung itu adalah konseli dari salah seorang siswa tadi.

"Bisa sopan juga ternyata" dalam hati terkejut melihat dia berjalan menunduk menuju ruang konseling disusul guru PPL dibelakangnya.

"Kalah set wis"  gumamku.

Seorang ahli manajemen kelas, Michael L memberi saran terkait cara memperlakukan anak yang sulit diatur dengan berpura-pura menganggap mereka sudah berprilaku baik dengan tetap memperlakukan mereka dengan kebaikan, humor dan rasa hormat yang sama seperti yang kita lakukan pada semua siswa.

#100harimenulisguru2022
#akumenulisuntukdiridannegeri





Share: